BERITA

Reformasi Birokrasi Belum Berdampak Pada Peningkatan Pelayanan Publik

Monday, 2nd Sep 2013 11:12 WIB

News image

Reformasi Birokrasi Belum Berdampak Pada Peningkatan Pelayanan Publik

2 September, 2013 - 19:19

JAKARTA, (PRLM).- Reformasi birokrasi baru bisa memperbaiki prosedur, tetapi belum memberi dampak pada peningkatan pelayanan publik. Hasil penelitian Indonesia Governance Index (IGI) menunjukkan rata-rata kinerja tata kelola provinsi hanya 5,70.

Indeks tertinggi diraih oleh Provinsi D.I. Yogyakarta, sedangka Jawa Barat berada di urutan 15. Penelitian tersebut menunjukkan, pemerintah provinsi belum mempunyai komitmen yang kuat terhadap sektor pelayanan publik, utamanya pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

IGI merupakan kerangka pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan daerah yang dilakukan oleh Kemitraan. Direktur eksekutif Kemitraan Wicaksono Sarosa mengatakan, indeks tersebut menganalisa kinerja 33 pemerintah provinsi dan bagaimana mereka memutuskan prioritas-prioritas pembangunan dan penyediaan pelayanan masyarakat.

“IGI mengukur empat arena, yaitu pemerintahan termasuk legislative dan eksekutif, birokrasi, masyarakat sipil, dan masyarakat ekonomi. Tiap provinsi diberi angka satu sampai 10 untuk pelayanan masyarakat mereka. Angka 1 menunjukkan yang paling rendah, 10 yang paling tinggi,” kata Wicaksono kepada wartawan pada peluncuran IGI di Hotel J.W. Marriot Jakarta, Senin (2/9/2013).

Hasil penelitian Kemitraan menunjukkan, D.I. Yogyakarta memperoleh IGI tertinggi mencapai 6,80. Disusul oleh Jawa Timur (6,43), DKI Jakarta (6,37) Jambi (6,24), dan Bali (6,23). Sedangkan lima daerah dengan indeks terendah ditempati oleh Papua (4,88), Nusa Tenggara Timur (4,87), Bengkulu (4,81), Papua Barat (4,48), dan Maluku Utara (4,45).

Jawa Barat menempati posisi 15 dengan indeks kinerja pemerintahnya mencapai 5,88. Penyumbang indeks tertinggi ialah dari masyarakat sipil yaitu sebesar 6,40. Indeks masyarakat ekonominya mencapai 5,90. Indeks birokrasi sebesar 6,05, sedangkan indeks pemerintahnya justru yang paling rendah yaitu 5,35.

Wicaksono mengatakan, rendahnya indeks yang dicapai oleh pemerintah provinsi menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan masing-masing provinsi untuk memperbaiki tata kelolanya.

Hal ini diperkuat dengan kenyataan peraih nilai tertinggi provinsi D.I. Yogyakarta merupakan pemerintah daerah yang investasi kesehatannya paling rendah, yaitu Rp 5.807 per orang tiap tahun. Investasi kesehatan paling tinggi dilakukan provinsi Bangka Belitung sebesar Rp 170 ribu per orang tiap tahun.

Wicaksono mengatakan, penelitian itu juga menunjukkan kurangnya keberpihakan pemerintah daerah pada upaya pengentasan kemiskinan. Alokasi anggaran untuk program pengentasan kemiskinan masih rendah. Alokasi tertinggi terdapat di Bali yaitu sebesar Rp 366 ribu per orang miskin setahun, sedangkan paling rendah di Nusa Tenggara Timur dengan Rp 20.900 per orang miskin setahun.

Di bidang pendidikan, penelitian IGI menemukan alokasi dana pendidikan terbesar di Indonesia hanya 14 persen dari total APBD, itupun sudah termasuk biaya untuk aparatur. “Yang terendah alokasinya menyisakan 1 persen untuk pendidikan. Sebagian besar dari 33 provinsi ini menginvestasikan kurang dari Rp 500 ribu per siswa,” tutur Wicaksono.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, hasil penelitian IGI ini bisa menjadi masukan bagi kementeriannya. “Ini masukan buat kami untuk mengatakan ke daerah agar perlu dilakukan penyempurnaan. Tapi sayangnya, setelah otonomi ini kami tidak lagi membahas substansi daerah. Kami hanya menjaga ini sudah cocok. Anggaran ini masuk ke sini, tapi soal suksesi ini kami tidak bisa menjangkau,” katanya.

Gamawan mengatakan, soal suksesi kepala daerah seringkali menjadi kendala pembangunan. Sebab setiap pergantian kepala daerah program pemerintah turut berubah, sehingga tidak terjadi kesinambungan pembangunan. “Kalau itu kamu jangkau juga, kami dianggap tidak berotonomi,” katanya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Wijojanto mengatakan, KPK bisa melihat apakah anggaran yang dialokasikan benar-benar dialokasikan sesuai kebutuhan atau sekadar data dalam dokumen. Bagi KPK, tidak cukup hanya melihat alokasinyanya saja tetapi juga sejauh mana angka-angka itu juga punya peluang dikorupsi.

“Misalnya Yogyakarta yang nilainya bagus, kesehatannya paling rendah. Tapi apa benar orang Jogja sehat? Atau di Bangka Belitung Rp 166 ribu untuk kesehatan padahal Bangka Belitung secara indeks keseluruhan rendah. Jadi buat KPK atau kementerian lain, bagaimana menerjemahkan indeks ini sehingga berguna bagi kemaslahatan publik,” tuturnya.

Ia berharap IGI suatau saat bisa digabungkan dengan indeks-indeks lain yang dibuat oleh lembaga lain. Seperti misalnya, indeks integritas dan indeks inisiatif antikorupsi yang dibuat KPK, indeks persepsi korupsi yang dibuat Transparansi Internasional Indonesia, dan lainnya. (A-170/A-89)***