OPINI

Berjuang Di Tanah Tergenang

Sunday, 23rd Sep 2018 12:34 WIB

News image

HAKIKATNYA, hidup adalah perjuangan. Namun, baginya tinggal di Kelurahan Bandengan, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, dalam 10 tahun terakhir perlu ekstra berjuang.

Beberapa kelurahan, seperti Pabean, Kramat Sari, dan 6 kelurahan lain di Kota Pekalongan hari ini bernasib sama, mulai tergenang. Membersihkan lantai rumah sisa lumpur semalam, melawan dinginnya air yang merambat menyentuh kulit kaki saat terlelap, dan menenangkan buah hati yang menangis karena trauma merupakan kesehariannya.

Mendapatkan air bersih untuk sekadar mandi dan cuci juga harus berjuang. Jika tidak, penyakit kulit atau bau tak sedap akan ada sepanjang hari.

Kalau sudah demikian, seharian di tempat kerja, di kelompok arisan, pengajian, di kantor kelurahan, di sekolahan akan terasa sangat menakutkan.

Bencana banjir rob sudah menjadi teman akrab bagi mereka. Bagaimana tidak, air merendam rumah, kebun, sawah dan tambak berhari-hari, berminggu, berbulan dan bahkan bertahun-tahun.

Kalaupun surut, hanya sebentar. Satu yang dikhawatirkannya, binatang berbisa seperti ular akan masuk ke dalam rumah untuk berlindung dari genangan, seperti yang terjadi pada banjir terparah sepanjang sejarah baru-baru ini, di mana telah menyisakan duka mendalam bagi 3 keluarga yang ditinggalkan anggotanya karena dipatok ular.

Sampai kapan?

Baginya dan sebagian warga lain, meninggikan lantai rumah adalah satu-satunya upaya menghalau bencana. Pertanyaannya, sampai kapan? Nyatanya, semakin lantai ditinggikan, air seolah-olah semakin tertantang untuk melewati dan menggenangi lagi. Sementara uang dan tabungan yang dimiliki kian hilang, tidak ada cara lain selain utang.

Banyak keluarga yang memilih menyerah dan pergi dari rumah dengan marah. Mengungsi ke rumah saudara menjadi pilihan satu-satunya, ditengah-tengah kondisi keuangan yang semakin lemah.

Namun baginya, pindah bukan sesederhana menggeser raga. Ada jiwa yang tidak mudah dipindah, budaya yang sudah berurat berakar, keluarga yang harus dijaga sekuat tenaga serta tanah dan rumah yang kini sudah tidak berharga.

Padahal dulu, hidup buatnya tidak melulu soal berjuang. Ada tawa, riang dan senang-senang. Sepanjang mata memandang, ada sawah, ladang, kebun melati, tambak, pohon kelapa dan pesisir pantai dengan anginnya yang siap membelai. Hidup sudah sempurna dengan semua yang Tuhan berikan kepadanya. Kualitas bunga melati di kelurahannya sangat bagus dan menjadikan produk teh melati buatan kotanya terkenal hingga luar Jawa. Hasil panen mangga di kebun dan tambak cukup untuk memenuhi kebutuhan, bahkan perabot seperti tempat tidur dan sepeda motor.

Kini, apa yang dimilikinya harus dipertahankan dengan penuh perjuangan. Sejak banjir rob pertama kali, sebelum kemudian airnya enggan pergi, tidak terhitung berapa kali harus berganti tempat tidur dan sepeda motor.

Semua karena air rob, air asin yang maha dahsyat, mampu merusak dari mulai kayu, besi hingga logam. Saking dahsyatnya, kadang kakinya bengkak dan tidak dapat berjalan, terlebih jika hujan, ketika rob dari laut bertemu dengan air hujan yang membawa sampah-sampah perkotaan.

Jika mengingat itu semua, dia menjadi sangat lemah dan merasa bersalah. Terlebih ketika buah hatinya bertanya, "Papah, kapan rumah kita tidak banjir lagi?" Lidahnya kelu, kaku dan tiba-tiba suara lantangnya hilang seolah terbuang.

Baginya, satu-satunya cara menjawab pertanyaan buah hatinya adalah dengan berdoa dan berharap Tuhan mau menghentikan semua. Doanya tidak lagi untuknya, tetapi buah hatinya, agar tahu bahwa Tuhan yang setiap hari kita sembah dan panjatkan doa memiliki sifat welas asih dan penyayang.

Baru 6 tahun jalan usia buah hatinya, tingkah polahnya sejak kecil harus terbatasi oleh genangan air di sekelilingnya. Belajar menggambar dan menulis tidak dapat dia lakukan kapan saja karena jika hari beranjak siang, air rob datang, sementara pagi hari adalah waktunya anggota keluarga membersihkan rumah.

Tidak juga dengan bernyanyi, dia tidak pernah memperkenalkan kepada buah hatinya lagu-lagu terkait dengan tumbuhan dan pepohonan, seperti menanam jagung. Dia khawatir buah hatinya akan meminta menanam jagung dan tumbuhan lain, sementara di sekeliling rumahnya hanya ada genangan air dan batang pohon mati tak berdaun dan berbuah. Ketika semua harus didapatkan dengan berjuang, tidak ada pilihan lain selain memprioritaskan apa yang penting. Soal menikmati hari libur dengan bersantai, minum kopi, makan pisang goreng sambil bercanda dengan anggota keluarga tidak pernah lagi dilakukan.

Nasi megono (sayur nangka atau cecek yang dimasak dengan parutan kelapa dan bunga kecombrang) yang merupakan makanan khas tidak lagi dapat dinikmati dengan perlahan tiap pulang bekerja karena harus segera beranjak dan memantau sampai di mana air menggenang.

Ketika perjuangan yang sesungguhnya tidak mendapat sambutan baik dari pemerintah, dari wakilnya yang duduk di legislatif, maupun dari organisasi masyarakat lain, maka berjuang menjadi sangat melelahkan baik hati dan pikiran.

Pada akhirnya, ketika sebuah penanganan bencana tidak diperjuangkan dengan sungguh-sungguh dan tanpa keseriusan, tetapi hanya sekadar diberi beras, baju dan uang, masyarakat akan semakin menuntut dan mengharap semua pihak mau membantu, tanpa peduli apakah itu hanya bersifat sementara.

Namun baginya, berjuang harus sampai titik air yang penghabisan. Selama air masih menggenang, tidak ada kata berhenti.  

Kemudian dia bertemu dengan banyak korban senasib sepenanggungan, membuat organisasi untuk mengawal banjir rob. Namanya sederhana, tetapi dalam punya makna: Bara Air atau Barisan Relawan Anti Rob. Semakin banyak anggotanya, baik pribadi maupun komunitas-komunitas yang ada.

Setelah mengadvokasi isu banjir rob ke pemerintah dan melakukan pendampingan kepada para korban, dia dan komunitasnya menemukan pemerintah kota dan wakilnya di DPRD tidak kunjung mengabulkan harapannya karena keterbatasan anggaran, juga sebagian karena merasa tidak berkepentingan. Pemanasan global dan dampaknya Kemudian datang Kemitraan, lembaga dari Jakarta yang baru selesai dengan penelitiannya. Kemitraan menyebut apa yang terjadi di Kota Pekalongan dan wilayah lain merupakan salah satu dampak dari fenomena pemanasan global, atau istilah internasionalnya climate change.

Berdasarkan hasil penelitian Kemitraan dan beberapa penelitian lain, kondisi tergenang juga dialami oleh Tegal, Brebes, Batang, Demak, Semarang, bahkan kota super sibuk seperti DKI Jakarta.

Sementara di wilayah lain, climate change memunculkan ancaman kekurangan pangan akibat dari menurunnya produksi hasil pertanian di beberapa daerah. Produksi beras di daerah selatan katulistiwa seperti Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan berkurang dari 1,8 hingga 3,6 juta ton pada 2017.

Untuk dampak, Kota pekalongan paling lengkap. Selain tergenang, produktivitas pertanian juga menurun drastis akibat dari berkurangnya luas sawah lestari, 234 dari total 734 Hektar lahan sawah lestari atau sekitar 31 persen dan akan terus bertambah yang tergenang.

Masih ada bertumpuk daftar dampak rob Pekalongan. Misalnya, siapa pun yang datang, tidak akan terlalu sulit menemukan anak-anak penderita penyakit pernafasan dan kulit.

Ada pula kepala keluarga yang stres dan tertekan akibat kehilangan lahan serta sawah yang merupakan tumpuan mencari mata pencaharian dan menjadi salah satu penyebab potensi kekerasan dalam rumah tangga cukup besar sehingga perempuan menjadi korban.

Tidak hanya itu, perempuan juga rentan mengalami gangguan kebersihan organ reproduksi sebagai dampak dari sanitasi dan air bersih di rumah payah, mudah terserang flu dan demam karena kelelahan, serta masih banyak lagi.

Diskusi menghasilkan beberapa alternatif cara advokasi, salah satunya dengan bergerak secara bersama-sama di dunia maya, dan berharap para pengambil kebijakan di level nasional dan provinsi tahu dan mau membantu. Bukan hanya menghentikan air agar tidak tergenang, tetapi juga menyelesaikan semua dampak ikutannya.

Sadar tidak dapat dilakukan sendiri, dia bertemu dengan banyak komunitas. Ada pecinta sungai, penerbang drone, akademi berbagi, kelompok perempuan kepala keluarga, kumpulan mahasiswa, pecinta pariwisata, fotografi, blogger, instagram, komunitas batik, perupa, sketser serta komunitas-komunitas lain di sekitarnya. Mereka banyak berdiskusi dan saling membagi informasi.

Mereka sama terkejutnya. Anggota komunitas kaget karena baru menyadari bahwa kotanya terancam tenggelam, sementara dia terkejut karena hampir setengah kotanya sudah tergenang dan komunitas-komunitas ini masih tetap diam dan tenang.

Satu-dua kali bertemu untuk berdiskusi menyamakan persepsi. Rencana berhasil disusun bersama antara dia yang merupakan korban dan anggota komunitas yang rata-rata berusia suatu generasi di bawahnya. Kesepakatan terjadi, mereka ingin bersama-sama berjuang di tanah tergenang. Rencana aksi kampanye banjir rob disusun dan sepakat segera dilakukan dengan cara-cara yang lebih kekinian, menargetkan kaum milenial yang dikenal cukup aktif di media sosial. Membuat video dokumenter, meme, parodi, video drone, foto, tulisan, dan doodle art yang akan disebarkan melalui Instagram, Facebook, Youtube dan Twitter.

Semakin viral, harapannya semakin besar kemungkinan kondisinya dilihat dan diperhatikan oleh para pengambil kebijakan. Sama seperti Lalu Muhammad Zohri, sprinter asal Nusa Tenggara Barat yang diundang ke Istana setelah namanya viral di dunia maya. Apalagi, pemerintah saat ini fokus pada pembangunan yang bertujuan untuk menyejahterakan, masa tega membiarkan warganya kesusahan melawan genangan. Karena jika tidak, para ahli telah memprediksi kurang lebih 10 tahun nanti, seluruh Pekalongan akan tergenang.

Semoga itu tidak akan pernah terjadi, demi masa depannya dan si buah hati.

Dia berharap perjuangannya kali ini menjadi yang terakhir dan segera menemukan titik terang. Ia bersama komunitas dan mengharap bantuan dari para netizen untuk memviralkan data, informasi, serta kondisi yang sedang dihadapi menggunakan tagar #Akurindudaratan #Rindudaratan #Akukudupiye #Savepekalongan.

Hari ini, optimisme sekali lagi terbangun. Ada dua hal yang dapat diambil pelajaran. Pertama, saat data dan informasi disebarkan, banyak orang ikut tergerak bersama-sama berjuang.