OPINI

Generasi Muda dan Gerakan Peduli Perubahan Iklim

Thursday, 29th Nov 2018 00:42 WIB

News image

Sejumlah warga Kelurahan Tirto, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, berjalan menerjang banjir di wilayah tersebut, Selasa (16/1). Selain di Tirto, dampak banjir juga antara lain dirasakan warga Kelurahan Pasirkratonkramat, Pekalongan Barat. Hujan deras disertai petir pada Minggu dan Senin (14-15/1/2018) malam menyebabkan Kali Bremi meluap. Kompas/Aditya Putra Perdana (DIT) 16-01-2018 (KOMPASADITYA PUTRA PERDANA)

GENERASI muda selalu dihadapkan pada tantangan berbeda di setiap zaman. Saat ini, salah satu tantangan yang sedang dihadapi adalah dampak perubahan iklim.

Hal ini terkonfirmasi dari hasil The Global Shapers Survey (2017) di mana generasi muda di 186 negara menganggap dampak perubahan iklim menjadi ancaman dunia saat ini.

Dampak perubahan iklim dapat dilihat dari dua hal, kenaikan muka air laut yang drastis dan perubahan suhu yang ekstrem.

Kajian risiko dan adaptasi perubahan iklim merekam kenaikan suhu di beberapa wilayah dalam 25 tahun terakhir, diantaranya terjadi di kota Tarakan sebesar 0,63 derajat Celsius, Malang Raya sebanyak 0,69 derajat Celsius, dan Provinsi Sumatera Selatan sebesar 0,67 derajat Celsius.

Sementara kenaikan muka air laut didokumentasikan oleh Simple Ocean Data Assimilation (SODA). Sejak 1993, kenaikan muka air laut rata-rata 7 mm per tahun, sebelumnya hanya 1,6 mm per tahun.

Di Indonesia, belum banyak generasi muda yang mengampanyekan ancaman dampak perubahan iklim, tidak juga di Kota Pekalongan. Padahal, 30 persen wilayah kotanya atau 9 dari 27 kelurahan dibanjiri air rob tahunan.

Butuh kolaborasi Baru-baru ini, pidato Presiden Joko Widodo di hadapan perwakilan 188 negara anggota Bank Dunia, di Bali, menyatakan komitmennya untuk memprioritaskan penanganan terhadap isu perubahan iklim. Komitmen Presiden menjadi harapan bagi daerah, salah satunya Kota Pekalongan. Karena, selama ini sedikitnya dua kendala serius harus dihadapi pemerintah daerah, salah satunya terkait anggaran.

Sebagai perbandingan, pembangunan tanggul raksasa yang sedang dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juwana (BBWS) membutuhkan dana lebih dari Rp 100 miliar.

Adapun APBD Kota Pekalongan tahun 2017 hanya sekitar 800 miliar, di mana separuhnya sudah terserap untuk biaya operasional pegawai.

Pun di sektor adaptasi, struktur anggaran di APBD Kota belum secara khusus mengalokasikan bagi warga terdampak, kendati sudah terjadi bertahun-tahun.

Pada sisi kesehatan, misalnya, dibutuhkan pencegahan penyakit yang dibawa oleh serangga dan nyamuk, di antaranya vaksinasi, imunisasi dan penyemprotan. Belum lagi di isu lain seperti pendidikan, ekonomi dan sosial lainnya.

Kewenangan yang terbatas menjadi kendala selanjutnya. Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah mengamanatkan kewenangan tata kelola sepanjang pesisir pantai dan daerah aliran sungai (DAS) merupakan kewenangan provinsi.

Padahal, dua area tata kelola tersebut menjadi pintu masuk banjir rob yang saat ini menggenangi rumah warga dan dibutuhkan upaya cepat untuk menanggulangi permasalahan di sekitarnya. Sungai Bremi, misalnya, diduga menjadi pintu masuk air rob ke wilayah sekitarnya, seperti Pabean dan Kramat Sari, padahal letak wilayah tersebut sekitar 3 km dari pesisir pantai.

Dua wilayah tersebut lokasinya sangat strategis, dekat dengan stasiun kereta dan jalur Pantura sehingga penduduknya cukup padat. Jika kondisi ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan banjir akan sampai di jalur Pantura dan stasiun kereta, hanya dalam beberapa tahun ke depan.

Pada sisi lain, Kemitraan juga menemukan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat sipil, akademisi, tokoh masyarakat serta tokoh adat memiliki pengetahuan terbatas seputar apa itu perubahan iklim, kendati telah merasakan dampaknya.

Begitu juga di wilayah media sosial. Dari hasil analisis Kemitraan pada saat bencana banjir rob terparah sepanjang sejarah pada Mei 2018, percakapan dunia maya (Twitter) justru mengaitkannya dengan isu politik praktis terkait Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Jawa Tengah, dan Kementerian Hukum dan HAM karena penghuni Lapas Kota Pekalongan dievakuasi.

Pemberitaan di media nasional juga hanya seputar ancaman jalur Pantura karena berdekatan dengan momen mudik. Padahal, di balik itu semua, ada lebih dari 20.818 kepala keluarga menjadi korban banjir, berhari-hari mengungsi, menderita karena akses air bersih terbatas dan rentan terserang penyakit.

Bahkan sebagian besar kepala keluarga masih berjibaku dengan banjir rob di wilayahnya, berbulan-bulan setelah penghuni Lapas sudah mendapatkan tempat yang lebih nyaman, dan pemimpin daerah telah terpilih dan dilantik.

Gerakan anak muda Berdasarkan kondisi di atas, lebih dari 33 komunitas anak muda di Kota Pekalongan dan Kemitraan, yang tergabung dalam gerakan Save Pekalongan aktif membangun konsolidasi, menggalang dukungan dan membangun pemahaman kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan gerakan penanggulangan banjir rob.

Mayoritas komunitas adalah generasi muda yang aktif di media soslai, jumlahnya semakin bertambah. Latar belakang mereka beragam, mulai dari pilot drone, penggemar media sosial, guru, pencinta sungai, seniman, pembatik, karang taruna, kelompok mahasiswa dan lain-lain.

Beberapa langkah telah dilakukan, antara lain menanam pohon bakau, membuat film pendek dampak rob, menuliskan kondisi yang dihadapi perempuan dan keluarga terdampak, serta mendiseminasikan cerita banjir rob dalam bentuk foto.

Awalnya mereka tidak merasa ini penting karena selain tidak menjadi korban terdampak, mereka juga menganggap banjir rob sebagai sebuah fenomena musiman. Namun, saat berinteraksi langsung dengan korban banjir, mendapatkan fakta bahwa banjir rob yang terjadi tidak surut lagi, dan merasakan bagaimana air rob bisa membuat kaki gatal, panas dan sakit setelah seharian terendam, mereka sadar, bersimpati dan berkomitmen untuk mengampanyekan bencana ini, agar semua dapat segera diakhiri.

Pesan utama gerakan Save Pekalongan adalah agar bencana tidak ditarik ke ranah politik, yang sarat dengan intrik dan hanya bersifat sementara. Karena, politik hanya akan memanfaatkannya sesaat, setelah selesai perhelatan, kembali warga dikecewakan.

Langkah tersebut sejauh ini efektif dan mendapat tanggapan positif dari Pemerintah Kota Pekalongan. Keduanya sepakat berkolaborasi melakukan penanganan banjir rob sesuai kewenangan masing-masing. Target selanjutnya dari gerakan Save Pekalongan adalah mendapatkan perhatian dari pemerintah provinsi, pusat dan dunia, agar mereka mau membantu warga Pekalongan terbebas dari setiap derita.

Selalu ada peran anak muda dalam perjalanan bangsa, salah satunya janji setia melalui Sumpah Pemuda. Dengan menyuarakan bahaya dampak perubahan iklim, generasi muda akan dicatat sebagai bagian yang terus menjaga Indonesia tetap ada. Dengan caranya, anak muda pekalongan sedang berusaha menjaga keberadaan Indonesia.

Kontributor : AN
Editor : Laksono Hari Wiwoho