OPINI

Pekalongan Ramah Investasi, tetapi Kurang Perhatikan Keberlanjutan

Tuesday, 30th Oct 2018 00:33 WIB

News image

Kota Pekalongan, yang terletak di jalur Pantai utara Jawa, menonjolkan pendekatan pembangunan yang pro terhadap investasi ketimbang tata kelola berkelanjutan di bidang perubahan iklim. Hal ini tercermin dari tingginya skor keramahan berinvestasi yang diperoleh Kota Batik, yaitu 6,79 dari skala 1-10. Sementara itu, skor tata kelola perubahan iklim kota berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa ini hanya mencapai 5,79, atau berkategori sedang.

Padahal, Pekalongan, beserta kota-kota di sekitar Pantai utara Jawa mengalami penurunan permukaan air laut yang signifikan. Upaya penanggulangan mutlak diperlukan mengingat semua kawasan di utara Pulau Jawa ini diperkirakan tenggelam dalam waktu 50 tahun jika tak ada upaya pencegahan yang berarti.

Skor tata kelola perubahan iklim ini berdasarkan Kajian Tata Kelola Perubahan Iklim yang dilakukan tim peneliti Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan atau Kemitraan pada tahun 2017 di empat kabupaten/kota. Keempatnya adalah Kota Pekalongan dan Kabupaten Kebumen di Jawa Tengah, Kabupaten Pulang Pisau di Kalimantan Tengah, serta Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah.

Kajian dilakukan melalui pengolahan data objektif yang dimiliki masing-masing pemangku kepentingan pada 2015-2016, serta pengolahan data persepsi melalui wawancara tatap muka dan diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion) terhadap 35 responden utama pada 2017.

Skor ini merupakan hasil perhitungan terhadap 6 prinsip tata kelola pemerintahan yang berkaitan dengan perubahan iklim yakni partisipasi, transparansi, keadilan, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Sementara itu, subjek pengukuran ini adalah pejabat politik, birokrat, masyarakat sipil dan pelaku usaha.

Saat ini, sekitar 31 persen wilayah Kota Pekalongan terendam impasan air laut atau rob. Pendekatan yang menonjolkan investasi juga tercermin dari pengalihan dana pembangunan tanggul penangkal rob sebesar Rp 20 miliar untuk pembangunan exit interchange tol sebagai bentuk investasi.

Limbah industri batik yang mencemari sungai serta memperparah rob belum mendapat penanganan yang baik. Bahkan, limbah ini memasuki pemukiman warga dan menyebabkan mereka menderita penyakit kulit.

Kemitraan mendorong perluasan ruang terbuka hijau (RTH) setidaknya hingga 30 persen untuk mengurangi luasan wilayah yang tergenang banjir rob. Ruang terbuka hijau diperlukan untuk meningkatkan resapan air agar masuk ke dalam tanah.

Selain itu, lahan yang kosong juga perlu dioptimalkan sebagai ruang terbuka hijau yang fungsional sehingga terjadi peningkatan kualitas lingkungan. Ruang terbuka hijau yang memadai dapat menurunkan suhu udara dalam skala wilayah, memberikan unsur keindahan dan kenyamanan, serta dapat meningkatkan nilai ekologi wilayah.

 

 

Kontributor : Hindra Liau

Foto oleh Arif Nurdiansah