OPINI

Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi Belum Berawasan Iklim

Tuesday, 30th Oct 2018 00:24 WIB

News image

Pembangunan infrastruktur dan ekonomi terbukti berdampak baik di tingkat daerah. Fasilitas seperti Posyandu, insititusi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), serta jalan yang mendukung keterhubungan kini semakin merata.

Namun, pembangunan infrastruktur dan ekonomi belum berwawasan iklim. Beberapa daerah di Indonesia belum memasukkan faktor perubahan iklim sebagai pertimbangan utama dalam melakukan pembangunan.

Hal ini berdasarkan Kajian Tata Kelola Perubahan Iklim yang dilakukan tim peneliti Kemitraan pada tahun 2017 di empat kabupaten/kota, yakni Kota Pekalongan dan Kabupaten Kebumen di Jawa Tengah, Kabupaten Pulang Pisau di Kalimantan Tengah, serta Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah. Kajian dilakukan melalui pengolahan data objektif yang dimiliki masing-masing pemangku kepentingan pada 2015-2016, serta pengolahan data persepsi melalui wawancara tatap muka dan diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion) terhadap 35 responden utama pada 2017.

Di Pekalogan, jalan tol berdampak positif pada mobilitas warga, tetapi menyita dana iklim. Dengan 31 persen wilayah terkena rob, Pekalongan perlu tanggul. Namun tahun 2017, dana Rp 20 miliar yang seharusnya dipakai untuk membangun tanggul justru dialihkan untuk pembangunan exit interchange tol.

Di Pulang Pisau, pemerintah daerah berkomitmen menjadikan kabupaten ini sebagai salah satu lumbung padi nasional yang memiliki potensi ekonomi. Namun pada saat yang sama, upaya ini berkontribusi pada berkurangnya lahan gambut sebesar 98.784 hektar akibat kebakaran.

Di Desa Seboro di Kabupaten Kebumen, serta Desa Labuan Toposo di Kabupaten Donggala, pembangunan infrastruktur meningkatkan penambangan bahan galian C. Dengan perubahan parameter hidrometeorologi akibat iklim, penambangan membuat wilayah ini semakin rentan terhadap bencana.

Kurang sinerginya pembangunan dan keberlanjutan lingkungan itu menunjukkan isu perubahan iklim belum mendarah daging di daerah. Pemangku kepentingan di daerah masih menitikberatkan faktor ekonomi.

Berdasarkan studi Kemitraan, pendidikan iklim dan tata kelola iklim perlu diperbaiki. Salah satu pemangku kepentingan yang perlu ditingkatkan kapasitasnya adalah masyarakat sipil. Skor Indeks Tata Kelola (IGI) iklim masyarakat sipil paling rendah, hanya 4,30 dari skala 1-10.

Wawasan iklim terbukti membuat masyarakat mempertimbangkan dampak lingkungan dalam pembangunannya. Salah satu contohnya adalah kasus warga Desa walandano di Donggala yang menolak penambangan emas karena mempersempit lahan hutan.

 

 

Kontributor : Hindra Liau

Foto : Hana