Rapor Merah Tata Kelola Iklim Indonesia di Tingkat Daerah
Tuesday, 30th Oct 2018 00:52 WIBDengan peningkatan laju kenaikan muka air laut yang signifikan dalam 30 tahun, Indonesia, yang berbentuk kepulauan, menjadi negara yang paling rentan terdampak perubahan iklim. Kemampuan tata kelola di tingkat kabupaten/kota akan menentukan keberhasilan Indonesia meminimalkan dampak perubahan iklim.
Studi oleh Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan atau Kemitraan menunjukkan, tata kelola ketahanan iklim di tingkat kabupaten/kota di Indonesia masih lemah. Hal ini tecermin dari skor Tata Kelola Pemerintahan berbasis Ketahan Perubahan Iklim yang masih senjang dibandingkan indeks tata kelola pemerintahan secara umum.
Studi dilakukan pada tahun 2017 di empat kabupaten/kota, yakni Kota Pekalongan dan Kabupaten Kebumen di Jawa Tengah, Kabupaten Pulang Pisau di Kalimantan Tengah, serta Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah. Kajian dilakukan melalui pengolahan data objektif yang dimiliki masing-masing pemangku kepentingan pada 2015-2016, serta pengolahan data persepsi melalui wawancara tatap muka dan diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion) terhadap 35 responden utama pada 2017.
Kemitraan mengukur tata kelola dengan mempertimbangkan transparansi, partisipasi publik, akuntabilitas, dan berbagai faktor lainnya. Agar pengukuran menyeluruh, Kemitraan melihat kemampuan empat pemegang kepentingan: pejabat politik, nirokrasi, masyarakat ekonomi alias pelaku usaha, serta masyarakat sipil.
Kabupaten Donggala memiliki kesenjangan tata kelola pemerintahan umum dan iklim yang paling besar. Skor tata kelola pemerintahan umum mencapai 5,21 tetapi iklimnya hanya 3,72. Sementara Kebumen memiliki kesenjangan terkecil dengan skor tata kelola pemerintahan umum 6,21 dan iklim sebesar 5,36. Secara umum, kota memiliki tata kelola lebih baik dari kabupaten dan desa.
Sementara itu, dibandingkan dengan pemangku kepentingan lain, masyarakat ekonomi punya skor tata kelola iklim yang rendah. Mereka punya skor tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu 7,44, tetapi kesadaran untuk menangkal dampak perubahan iklim rendah dengan skor hanya 4,88. Dalam usahanya, masyarakat ekonomi justru cenderung berkontribusi pada kerentanan iklim.
Kesenjangan tata kelola pemerintahan umum dan iklim bukan berarti tiap daerah dan pemangku kepentingan tidak punya usaha untuk memperbaiki tata kelolanya. Hanya saja, hal ini terkendala oleh ketiadaan regulasi dari tingkat pusat. Salah satu dampak nyatanya, daerah tidak bisa secara rutin menyusun Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) yang sejatinya bisa digunakan untuk mengukur dampak iklim.
Dari temuan tersebut, Kemitraan merekomendasikan penyusunan regulasi dari tingkat pusat hingga daerah yang terrinci. Regulasi akan memudahkan daerah merumuskan aksinya sekaligus memberi ruang untuk berinovasi.
Contributor : Hindra Liau